Sabtu, 29 Desember 2012

Betulkah Khilafah Akan Kembali?

Betulkah Khilafah Akan Kembali?

Soal:
Ada sebagian pihak yang mempersoalkan QS. an-Nur: 55 yang berisi janji Allah tentang akan berdirinya kembali Khilafah, dengan menyatakan, bahwa janji tersebut sudah berlalu bagi Nabi saw. dan para Sahabat, sehingga tidak akan terjadi lagi. Benarkah demikian?

Jawab:
Pertama: al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw., berisi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat. Itu artinya, al-Quran, tidak hanya berlaku untuk zaman Nabi dan para sahabat, tetapi hingga akhir zaman. Karena itu, meski ada momentum tertentu yang terjadi pada zaman itu, dan karenanya ayat atau surat tertentu diturunkan, ayat atau surat itu tidak hanya berlaku untuk saat itu, jika maknanya umum. Dari sinilah para ulama kemudian menggariskan kaidah:

«اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ»
Yang menjadi patokan makna adalah mengikuti keumuman lafal, bukan berdasarkan sebabnya yang spesifik.

Sebagai contoh, ayat li’an (QS an-Nur [24]: 6) yang diturunkan terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ’.[1] Meski peristiwanya terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah dan istrinya, ayat ini berlaku umum, dan tetap berlaku hingga Hari Kiamat.
Kedua: seruan (khithâb) yang dinyatakan oleh Allah kepada Nabi saw., tidak hanya berlaku untuk beliau, tetapi juga berlaku bagi umatnya, kecuali apa yang ditetapkan sebagai kekhususan bagi Nabi saw.[2] Dalam hal ini, para ulama menyatakan:

«خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأِمَّتِهِ»
Seruan untuk Rasul saw. merupakan seruan yang juga berlaku bagi umatnya.[3]

Ketiga: mengenai QS an-Nur [24] ayat 55:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٥٥﴾
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan dengan sesuatu pun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.

Al-‘Allâmah al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. dan para sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. Mereka pun bisa meletakkan senjata dan hidup aman.[4]
Meski demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya untuk Nabi saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat Muhammad saw. sepeninggal mereka.[5] Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
«هَذِهِ الْجُمْلَةُ مُقَرِّرَةٌ لِمَا قَبْلَـهَا مِنْ أَنَّ طَاعَتَهُمْ لِرَسُوْلِ اللَّـهِ [صلم] سَبَبٌ لِـهِدَايَتِهِمْ، وَهَذَا وَعْدٌ مِنَ اللَّـهِ سُبْحَانَهُ لِمَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ، وَعَمِلَ الأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ بِالاِسْتِخْلاَفِ لَـهُمْ فِي الأَرْضِ لِمَا اِسْتَخْلَفَ الذِّيْنَ مِنْ قَبْلِـهِمْ مِنَ الأُمَمِ، وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ الأُمَّةِ. وَقِيْلَ: هُوَ خَاصٌّ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ الإيْمَانَ، وَعَمِلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُّ بِهِمْ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ، وَمَنْ عَمِلَ بِكِتَابِ اللَّـهِ، وَسُنَّةِ رَسُوْلِـِه، فَقَدْ أَطاَعَ اللَّـهَ وَرَسُوْلَـهُ»
Kalimat ini menegaskan apa yang dinyatakan sebelumnya, bahwa ketaatan mereka kepada Rasulullah saw. merupakan sebab bagi mereka mendapatkan hidayah. Ini merupakan janji dari Allah SWT bagi siapa saja yang beriman kepada Allah dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan (Khilafah) di muka bumi kepada mereka, sebagaimana Dia memberikan kekuasaan kepada umat-umat sebelum mereka. Ini merupakan janji yang berlaku umum untuk seluruh umat. Ada yang mengatakan, “Ini khusus untuk sahabat.” Namun, tidak ada alasan untuk mengartikan demikian, karena iman dan amal salih itu tidak hanya khusus untuk mereka. Sebaliknya, janji itu bisa berlaku bagi tiap umat, dan siapa saja yang mengamalkan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya. dia sejatinya telah mentaati Allah dan Rasul-Nya.[6] 

Keumuman cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât”. Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya.[7] Bahkan dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul saw. dan umatnya.[8]
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan, bahwa janji Allah di dalam QS an-Nûr [24]: 55 ini telah dipenuhi oleh Allah SWT dengan memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. dan para sahabat memang benar. Namun, tidak berarti menafikan keumuman janji tersebut bagi generasi berikutnya. Buktinya, negara yang diwariskan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu, yaitu Khilafah Islam, telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga negara itu dihancurkan tahun 1924 M.
Demikian juga, setelah janji tersebut dipenuhi oleh Allah SWT kepada generasi sebelum kita, tidak berarti janji tersebut tidak lagi berlaku untuk kita, khususnya setelah negara yang didirikan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu telah tiada. Sebaliknya, janji itu tetap berlaku hingga Hari Kiamat, yang akan diberikan kepada orang yang memenuhi kriteria, “beriman dan beramal salih”, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Râzî, al-Baidhâwî hingga as-Syaukânî, dan para mufassir lain.
Apalagi jika kita melihat makna ayat di atas, misalnya:

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
(Dia) sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka.

Para mufassir menyatakan, bahwa makna “yumakkinanna lahum dînahum” (Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka) adalah kemenangan Islam atas agama-agama lain. Dalam konteks kemenangan Islam atas Yahudi, Nasrani, Majusi dan Paganisme jelas janji ini telah dipenuhi oleh Allah SWT. Namun, dalam konteks kemenangan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme jelas belum. Padahal isme-isme tersebut termasuk dalam cakupan “dîn” yang dimaksud oleh ayat ini. Ini artinya, janji Allah di dalam ayat tersebut juga meliputi janji memenangkan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme.
Demikian juga makna kalimat berikutnya:

وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ
(Dia) benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.

Kondisi orang yang beriman dan beramal shalih saat ini tidak seperti yang dinyatakan dalam ayat tersebut yang bisa hidup aman, tidak diliputi ketakutan dan kecemasan, serta menjalankan agama mereka dengan aman, tidak dipaksa untuk menyekutukan Allah dengan yang lain. Sebaliknya, mereka semuanya hidup di dalam dâr al-kufur, dan dipaksa oleh rezim boneka untuk menjalankan sistem kufur, menyukutukan Allah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum, dan sebagainya. Ini juga membuktikan, bahwa janji Allah tersebut tetap berlaku bagi kita.
Yang perlu dicatat, janji Allah untuk memberikan kemenangan dan kedaulatan kepada Islam, keamanan dan kedamaian kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, berupa waw, yang berarti, tartîb (urut). Kalimat “wa layumakkinanna lahum” dan “wa layubaddilannahum” jatuh setelah kalimat “la yastakhlifannahum” (benar-benar Dia akan memberikan kekuasaan [Khilafah] kepada mereka). Ini artinya, bahwa janji kemenangan dan kedaulatan Islam, keamanan dan kedamaian itu terwujud setelah berdirinya Khilafah. Urut-urutannya demikian, yaitu Khilafah berdiri, baru Islam teguh dan menang, kemudian hidup menjadi aman dan damai.
Tarkîb (konstruksi) kalimat ayat tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita, bahwa Islam tidak mungkin tegak dan berdaulat, tanpa Khilafah. Demikian juga, tidak mungkin kaum Muslim bisa mengenyam kehidupan yang aman dan damai, kecuali dalam naungan Khilafah.
WalLahu a’lam. []

Catatan kaki:


[1]    Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,  XII/182.
[2]    Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut,  III/246-247; Abû al-Hayyân al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/204.
[3]    Contoh: QS al-Ahzâb [33]: 50. Lihat: al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Ibid, III/247.
[4]    Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,  XII/297.
[5]    Muhammad Amîn as-Syinqîthî, Adhwâ’ al-Bayân, Dâr ‘Alam al-Kutub, Beirut,  VI/126.
[6]    Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî, Tafsîr al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,  1997, IV/43.
[7]  Al-Fakhr ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut,  XXIV/415.
[8]    Al-Baidhâwî, Tafsîr al-Baidhâwi, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/196.

Menjadikan Hati Tunduk terhadap Alquran

Menjadikan Hati Tunduk terhadap Alquran

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (TQS al-Hadid [57]: 16).
            Seluruh isi Alquran adalah petunjuk jalan dari Allah SWT bagi manusia. Di dalamnya juga terdapat nasihat dan peringatan, berita gembira dan ancaman. Maka sudah selayaknya, kita wajib mengikutinya. Dan sebaliknya, tidak layak bersikap sebaliknya sebagaimana dilakukan Ahli Kitab. Inilah perkara yang ditegaskan oleh ayat ini.
 Hatinya Tunduk kepada Kebenaran
          Allah SWT berfirman: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh (belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah). Setidaknya ada dua penjelasan tentang untuk siapa ayat ini diturunkan.
Pertama, untuk orang-orang munafik. Yakni orang-orang yang menampakkan diri sebagai orang Mukmin namun menyembunyikan kekufurun dalam hatinya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Sudi dan lainnya.
Kedua, untuk kaum Mukminin secara umum. Pendapat ini dipilih oleh al-Syaukani dan lain-lain. Pendapat ini didasarkan beberapa riwayat. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Mardawaih dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah SAW keluar pada sekelompok sahabatnya di dalam masjid yang sedang tertawa. Beliau  pun menarik selendangnya dan wajahnya merah seraya bersabda: “Apakah kalian tertawa sedangkan belum datang kepada kalian jaminan dari Tuhan kalian bahwa Dia telah mengampuni kalian? Sungguh telah turun kepadaku sebuah ayat tentang tertawamu: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh. Kemudian mereka bertanya, “Apakah kaffarah atas perbuatan tersebut?” Beliau menjawab: Kalian menangis semampu kalian dalam tertawa.
Dalam ayat ini, mereka diserukan untuk segera menata hati mereka agar tunduk terhadap peringatan Allah SWT. Disebutkan: alam ya`ni. Artinya: alam ya`ti waqtuhu (belum tibakah waktunya). Dijelaskan al-Syinqithi, bentuk istifhâm (kalimat tanya) seperti ini berguna sebagai li al-taqrîr (untuk menetapkan). Pihak yang diseru dibawa menetapkannya seraya berkata: balâ (ya). Perkara yang ditetapkan disebutkan dalam frasa selanjutnya: an takhasya’a qulûbuhum lidzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Dijelaskan al-Qurthubi, kata an takhsy’a bermakna tadzillu wa talînu (merasa rendah dan menjadi sangat lembut). Ibnu ‘Abbas sebagaimana dikutip al-Thabari memaknainya sebagai tuthî’u qulûbuhum (hati mereka taat). Sikap hati tersebut dilakukan terhadap dzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Demikian al-Zuhaili dalam tafsirnya. Sedangkan wa mâ nazala min al-haqq (dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran yang diturunkan itu adalah Alquran. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuhi, al-Jazairi, dan lain-lain. Bahkan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada stau obyek, yakni Alquran. Sebab, Alquran mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).
Dengan demikian, ayat ini berisi dorongan dan celaan. Demikian Ibnu ‘Athiyyah dalam tafsirnya.  Yakni, memerintahkan kepada kaum Mukminin agar segera menata hatinya agar tunduk, takut, dan lunak terhadap peringatan dan nasihat-Nya sekaligus memberikan celaan terhadap yang bersikap sebaliknya. Sikap yang sama juga diperintahkan dilakukan terhadap Alquran dengan mau mendengarnya, memahaminya, menaatinya, dan melaksanakan.

Tidak Keras Hati Seperti Ahli Kitab
          Setelah mereka diperintahkan untuk menjadikan  hati mereka tunduk terhadap peringatan Allah SWT dan Alquran, kemudian diperintahkan untuk tidak mengikuti jejak kaum Ahi Kitab. Allah SWT berfirman: Walâ yakûnû ka al-ladzîna ûtû al-Kitâb min qabl (dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya). Yang dimaksud dengan orang-orang yang telah diberikan kitab sebelumnya adalah Yahudi dan Nasrani. Allah SWT menurunkan untuk mereka kitab Taurat dan Injil. Umat Islam dilarang menyerupai mereka.
Kemudian disebutkan tentang tabiat buruk mereka yang tidak boleh diikuti dalam frasa selanjutnya: Fathâla ‘alayhim al-amadu faqasat qulûbuhum (kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras). Pengertian fathâla ‘alayhim al-amadu adalah telah berlalu lama antara mereka dengan para nabi mereka. Demikian penjelasan al-Syaukani.
Ketika itu terjadi, maka: faqasat qulûbuhum, hati mereka pun menjadi keras. Ibnu ‘Abbas memaknai hati mereka menjadi keras sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari nasihat Allah SWT. Tak jauh berbeda, Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.
Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan tentang ayat ini. Dikatakan oleh mufassir tersebut bahwa Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai orang-orang yang telah diberi kitab terdahulu, Yahudi dan Nasrani. Ketika telah berlalu waktu yang panjang, mereka pun mengganti kitab Allah melalui tangan-tangan mereka, menjualnya dengan harga yang murah, meletakkannya di belakang punggung mereka, menerima berbagai pendapat dan perkataan yang berbeda-beda, mengikuti para tokoh mereka dalam agama mereka, bahkan menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Maka, hati mereka pun menjadi keras. Mereka tidak menerima nasihat. Hati mereka juga tidak lagi lunak dengan janji dan ancaman.
Kemudian disebutkan lagi tentang keburukan tabiat Ahli Kitab itu dengan firman-Nya: wakatsîr[un] minhum fâsiqûn (dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik). Dijelaskan juga oleh al-Syaukani, fâsiqûn  berarti khârijûn ‘an thâ’atil-Lâh (keluar dari ketaatan kepada Allah). Sebab, mereka telah meninggalkan amal yang diturunkan kepada mereka. Mereka mengubah, mengganti, dan tidak beriman dengan apa yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari, “Sebagian mereka yang diberikan Kitab sebelum umat Muhammah SAW adalah fasik.”
Dengan demikian, lengkap sudah keburukan kaum yang telah diberikan kitab itu. Perbuatan mereka fasik, sedangkan hati mereka mereka juga rusak. Menurut Ibnu Katsir, tabiat mereka itu sebagaimana diberitakan Allah SWT dalam firman-Nya:  (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, (TQS al-Maidah [5]: 13).
Termasuk tabiat mereka adalah mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, meninggalkan amal yang diperintahkan, mengerjakan apa yang dilarang. Oleh karena itu, Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai mereka, baik dalam perkara pokok maupun perkara cabang.
Demikianlah. Siapa pun yang mengaku beriman wajib menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap seluruh perintah dan larangan Allah SWT, mengikuti semua nasihat dan petunjuk-Nya, dan takut terhadap semua peringatan dan ancaman-Nya. Dengan kata lain, dia wajib mengikatkan dirinya, mulai dari hati hingga perbuatannya, terhadap seluruh syariah-Nya. Tak ada yang ditinggalkan dan ditelantarkan.
Bukan berlaku sebaliknya seperti halnya Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya. Maka, sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, Allah SWT melarang kaum Muslimin menyerupai mereka, baik dalam perkara ushûliyyah (pokok, dasar) maupun furû’iyyah (cabang). Belum tibakah saatnya bagi umat Islam untuk segera menerapkan seluruh syariah-Nya dan mencampakkan semua ide kufur yang diambil dari kaum Ahli Kitab dan kaum kafir lainnya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
  1. Umat Islam diperintahkan untuk menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap Alquran
  2. Umat Islam dilarang mengikuti sikap Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya

Istri Berzina, Haruskah Dipertahankan?

Istri Berzina, Haruskah Dipertahankan?

Soal:
Jika seorang suami yang melakukan li’an maka status pernikahannya bisa dinyatakan batal. Lalu bagaimana dengan status istri yang mengaku telah berzina, apakah dengan sendirinya pernikahannya juga batal?
Jawab:
Mengenai status pernikahan pasangan suami istri yang melakukan li’an, yaitu ketika suami menuduh istrinya berzina dengan pria lain, sementara tidak ada saksi lain, selain dirinya, maka dia harus menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim. Lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat. Setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat diri saya, jika saya berdusta.” Seketika jatuhlah li’an tersebut.1
Konsekuensi dari li’an ini, bagi pihak suami, dia tidak akan terkena had qadzaf (sanksi tuduhan berzina), yaitu dicambuk 80 kali, karena tidak bisa menghadirkan 4 saksi. Pada saat yang sama, pernikahannya pun dinyatakan batal (fasakh) untuk selama-lamanya sehingga dia tidak akan pernah bisa rujuk kembali kepada istrinya. Sementara itu, bagi pihak istri, jika dia tidak mau melakukan proses yang sama, sebagaimana yang telah dilakukan suaminya, yaitu menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim, lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat, setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat dirinya, jika dia berdusta,” sehingga li’an tersebut jatuh, maka kalau istri tersebut tidak mau melakukan proses di atas, dia dianggap telah melakukan zina, dan berhak dikenai sanksi zina muhshan, yaitu dirajam hingga mati. Sebaliknya, jika pihak istri tersebut melakukan proses yang sama, maka dia bisa terbebas dari had zina. Setelah itu, status pernikahan mereka dinyatakan batal, dan harus dipisahkan oleh hakim dengan status fasakh, dengan konsekuensi tidak bisa kembali selama-lamanya. Inilah status pernikahan suami-istri yang melakukan li’an.2
Lalu bagaimana jika mereka tidak melakukan li’an, tetapi istrinya mengaku sendiri bahwa dia telah berzina, apakah pernikahan mereka juga batal? Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang pertama. Dalam konteks ini, ada dua pendapat. Pertama: pendapat Mujahid, ‘Atha’, an-Nakha’i, at-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq dan para fuqaha’ Ahlu ar-Ra’yi dan kebanyak Ahli Ilmu, bahwa kalau istri berzina, atau suaminya berzina, maka nikahnya tidak otomatis menjadi batal, baik sebelum maupun setelah mereka berhubungan badan.3
Kedua: pendapat Jabir bin Abdillah bahwa kalau istri tersebut telah berzina, maka suami-istri ini harus dipisahkan, dan si istri tidak berhak mendapatkan apapun. Juga pendapat dari al-Hasan dan Ali bin Abi Thalib, bahwa suami-istri tersebut harus dipisahkan jika suaminya berzina sebelum berhubungan dengannya. Mereka beragumen, bahwa kalau suami tersebut menuduh istrinya berzina, dan me-li’an-nya saja, maka statusnya menjadi tertalak bai’n dari suaminya, karena status zina yang dinyatakan kepada istrinya, dengan begitu zina tersebut jelas bisa menyebabkan isterinya tertalak ba’in.4
Namun, argumentasi ini disanggah oleh Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali, bahwa tuduhan zina kepada istri tersebut tidak secara otomatis membuatnya tertalak ba’in. Andai dengan tuduhan zina tersebut pernikahannya secara otomatis batal, maka pernikahan tersebut juga secara otomatis batal, semata-mata karena adanya klaim, seperti saudara sepersusuan. Di samping itu, zina ini merupakan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam. Sebab, kalau salah satu dari suami-istri tersebut murtad, maka pernikahan mereka otomatis batal. Demikian juga berbeda dengan li’an, karena li’an menyebabkan batalnya pernikahan dengan status fasakh, meski tidak benar-benar berzina. Buktinya, jika istri tersebut juga melakukan proses li’an, maka proses tersebut bisa diterima, dan dia tidak ditetapkan berbuat zina. Nabi saw. juga tetap mewajibkan dijatuhkannya had qadzaf kepada orang yang menuduh perempuan tersebut berzina, termasuk suaminya, jika tidak bersedia melakukan proses li’an, sementara status fasakh-nya tetap jatuh.5
Meski demikian, menurut Ibn Qudamah, Imam Ahmad lebih suka agar suami menceraikan istrinya, jika istrinya telah berzina. Saya tidak berpendapat, bahwa dia harus mempertahankan kondisi seperti ini. Sebab, ranjangnya tidak bisa dijamin dari kotoran, sementara getahnya akan ditimpakan kepadanya, sementara anak yang lahir dari istrinya itu bukan anaknya.6
Dengan demikian, meski Imam Ahmad berpendapat, bahwa status suami-istri tersebut tidak secara otomatis akan tertalak atau ter-fasakh, sebagaimana dalam kasus li’an, tetapi jika istri telah mengaku berzina dengan pria lain, maka sebaiknya suaminya menceraikannya agar dia terhindar dari penisbatan anak yang notabene bukan anaknya. Ibn Mundzir berkomentar, “Barangkali orang yang tidak menyukai wanita seperti ini—maksudnya yang telah berzina—tak lebih dari makruh, tidak sampai haram, sebagaimana pendapat Imam Ahmad ini.” 7
Memang ada hadis yang menjelaskan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِىءٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ يُسْقِي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Tidaklah halal bagi seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air (mani)-nya kepada tanaman (buah hasil hubungan) orang lain (HR Ibn Qudamah dalam Al-Mughni).
Maksudnya, menyetubuhi istri yang hamil dari hasil hubungan dengan pria lain. Namun, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil, bahwa status pernikahan suami-istri tersebut secara otomatis menjadi batal, karena istrinya telah berzina. Sebab, hadis ini hanya menjelaskan ketidakhalalan menyetubuhi istri dalam kondisi hamil dari hasil hubungan dengan pria lain. Dengan kata lain, hadis ini hanya memerintahkan istibra’ (pembersihan kandungan) sehingga status nasabnya tidak bercampuraduk antara suami wanita ini dengan pria lain. Karena itu, suami wanita ini bisa menceraikannya hingga bayi dari kandungan istrinya tersebut lahir, kalau dia hamil, atau kalau tidak hamil, bisa diceraikan hingga haid sekali atau tiga kali, kemudian bisa dirujuk kembali.
Namun, untuk rujuk kembali, para fukaha juga mensyaratkan, agar perempuan yang sebelumnya telah berzina ini bertobat terlebih dulu, baru bisa dinikahi kembali. Jika tidak, maka dia tidak layak dinikahi. Wallahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. IV, edisi Muktamadah, 1424 H/2003 M, hlm. 166-167.
2 Ibid, hlm. 167-168.
3 Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., II/1653.
4 Ibid. Mengenai status talaknya, apakah berstatus talak bai’n bainunah kubra, ataukah fasakh memang ada ikhtilaf. Menurut Imam Abu Hanifah, suami-istri yang melakukan li’an, statusnya tertalak bai’n bainuna kubra, karena itu masih boleh dinikahi kembali setelah terlebih dulu dinikahi pria lain dan disetubuhi, lalu diceraikan. Berbeda dengan Imam Ahmad, juga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menurut beliau status talak suami-istri tersebut adalah fasakh, sehingga selamanya mereka tidak bisa menikah kembali.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.

Hukum Rujuk dan Iddah Dalam Kasus Khulu’ (Gugat Cerai)

Hukum Rujuk dan Iddah Dalam Kasus Khulu’ (Gugat Cerai)

Tanya :
Ustadz, apakah khulu’ itu merupakan talak ataukah fasakh? Apakah dalam khulu’ ada masa iddah dan rujuk?  (Abu Zaid, Depok).
Jawab :
Khulu’ (gugat cerai) didefinisikan berbeda bergantung khulu’ dianggap talak atau fasakh (pembatalan akad nikah). Menurut ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ itu talak, khulu’ adalah pengambilan tebusan oleh istri sebagai ganti dari pemilikan nikah dengan lafal khulu’. Menurut jumhur ulama yang menganggap khulu’ itu fasakh, khulu’ adalah pemisahan (furqah) suami istri dengan pemberian tebusan (‘iwadh) dari suami dengan lafal thalaq atau khulu’. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/234; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/452; ‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 26 & 199).
Hukum asal khulu’ boleh (ja`iz) jika ada alasan syar’i, yaitu istri khawatir tak dapat menjalankan kewajibannya menaati suami karena berbagai sebab, misal suami bertampang jelek, cacat jasmani, atau tak taat ibadah, buruk kelakuannya (suka membentak istri dll), atau tak melaksanakan kewajiban sebagai suami (tak memberi nafkah dll). Dalil bolehnya khulu’ QS Al Baqarah [2] : 229. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 7/51).
Adapun jika istri mengajukan khulu’ tanpa alasan syar’i, yakni ketika interaksi suami istri baik-baik saja (istiqamatul haal), khulu’ hukumnya makruh menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i; dan haram menurut sebagian fuqaha lainnya, seperti ulama Zahiriyah, Imam Ibnul Mundzir, dan sebagainya. (Mushtofa Al ‘Adawi, Ahkam At Thalaq, hlm. 64; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/166).
Ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ sebagai talak berdalil antara lain dengan riwayat Ibnu Abbas ra tentang istri Tsabit bin Qais ra yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW lantaran tak suka dengan wajah suaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada suaminya,”Ambillah kebunnya dan ceraikan istrimu dengan talak satu.” (aqbil al hadiqah wa thalliqha tathliiqah). (HR Bukhari no 5273, Nasa`i 6/169).
Namun kami memandang yang rajih adalah pendapat jumhur yang memandang khulu’ itu fasakh, bukan talak. Ada dua alasan sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Syaukani: Pertama, hadits Ibnu Abbas ra itu dianggap lemah (marjuh) karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang tak menyebut redaksi talak dalam sabda Nabi SAW kepada suami Tsabit bin Qais. Dari istri Tsabit bin Qais ra dalam Al Muwaththa’, Nabi SAW bersabda, ”Lapangkanlah jalannya.” (khalli sabiilaha). Dari Aisyah ra dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda,”Berpisahlah kamu darinya.” (faariqha). Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dalam Sunan Nasa`i, Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah dia (istrimu) kembali ke keluarganya.” (talhaq bi ahliha). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).
Kedua, terdapat hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dan Ibnu Abbas ra yang menerangkan bahwa Nabi SAW memerintahkan kepada istri Tsabit bin Qais ra untuk beriddah dengan satu kali haid. (HR Nasa`i 6/186; Abu Dawud no.2229; Tirmidzi no. 1185). Hadits ini menunjukkan khulu’ bukan talak yang iddahnya tiga kali haid atau tiga kali suci, melainkan fasakh, yang iddahnya ditentukan khusus hanya satu kali haid. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).
Kesimpulannya, khulu’ adalah fasakh bukan talak. Maka dari itu, khulu’ mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan talak. Jika dalam talak masa iddahnya tiga kali haid (menurut madzhab Hanafi) atau tiga kali suci (menurut madzhab Syafi’i), dalam kasus khulu’ iddahnya hanya satu kali haid. Jika dalam talak suami dapat merujuk istrinya, dalam kasus khulu’ suami tak dapat merujuk istrinya, karena pernikahannya sudah di-fasakh (dibatalkan). Suami hanya dapat kembali kepada istrinya dengan akad nikah baru dan mahar baru setelah istri selesai masa iddahnya dengan haid satu kali. (‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 240). Wallahu a’lam. [] (mediaumat.com, 24/12)

Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan

Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan

Tindak kekerasan yang melibatkan umat Islam sering oleh kelompok liberal dijadikan alasan untuk menstigma kaum Muslim sebagai entitas yang paling tidak bisa toleran dengan penganut keyakinan lain. Stigma ini sejatinya untuk membenarkan pandangan sesat kaum liberal yang menyatakan bahwa munculnya kekerasan di dunia Islam disebabkan adanya “truth claim” dan “fanatisme”. Menurut mereka, selama umat Islam masih berpegang teguh pada truth claim dan sikap fanatic terhadap agamanya, maka budaya kekerasan akan terus melekat pada diri kaum Muslim. Untuk itu, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan dengan cara “menyakini kebenaran agama lain” dan memaknai istilah-istilah keagamaan yang berpotensi melahirkan radikalisme—seperti Islam, kafir, jihad, taghut, serta amar makruf nahi mungkar—dengan makna baru yang lebih toleran (sejalan dengan pluralisme-liberalisme). Dengan cara inilah, menurut mereka, kekerasan di Dunia Islam bisa dihilangkan.
Pandangan seperti di atas jelas-jelas keliru dan menyesatkan. Alasannya, ide penghapusan truth claim dan toleransi tanpa batas lahir dari paham sekulerisme-liberalisme dan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Setiap keyakinan dan gagasan yang tegak di atas akidah selain Islam terkategori keyakinan dan gagasan kufur yang wajib diingkari. Selain itu, gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah SWT hanyalah Islam. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan.
Islam memandang keragaman agama, keyakinan, suku, ras dan bahasa sebagai perkara yang alami dan lumrah. Islam tidak berusaha menghapus keragaman tersebut dengan cara memaksa semua orang untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka. Islam dengan tegas melarang seorang Muslim memaksa orang kafir memeluk agama Islam. Islam hadir untuk mengatur keragaman (pluralitas) yang ada di tengah-tengah masyarakat agar terbina kerukunan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, Islam pun menyeru manusia meninggalkan keyakinan dan sistem hidup kufur, menuju agama Islam yang lurus.
Berkaitan dengan toleransi, Islam menggariskan sejumlah ketentuan sebagai berikut:
1.     Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kekufuran. Begitu pula agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, kebathinan, dan lain sebagainya; semuanya adalah kekufuran. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, tidak ragu lagi, ia adalah kafir. Jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah murtad dari agama Islam. Tidak ada toleransi dalam perkara semacam ini.
2.     Tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah toleran terhadap keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam seperti: ateisme, politeisme, Al-Quran tidak lengkap, adanya nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw, pengingkaran terhadap Hari Akhir dan semua hal yang berkaitan dengan Hari Akhir, dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariah contohnya adalah menolak kewajiban shalat, zakat, puasa, jilbab bagi Muslimah, dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.
3.     Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariah, seperti menikahi wanita musyrik –kecuali ahlul kitab, menikahkan wanita Muslimah dengan orang kafir, perwalian, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.
4.     Ketentuan-ketentuan di atas tentu tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk terhadap kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islamiyah sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Siapa saja yang berusaha menciderainya, baik Muslim maupun kafir, akan mendapatkan sanksi. Adapun terhadap kafir harbi, maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’lan, semacam Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagainya.
Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.     Tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan. Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum Muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka. Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.
2.     Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk “mengislamkan seseorang”. Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik di Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggu-nakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif. Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan da’wah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.
3.     Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha menciderai jiwa dan harta seseorang, baik Muslim maupun non-Muslim.
4.     Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran,
Sikap Khalifah dan Umat Islam Terhadap Kemungkaran
Seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, tidak diperkenankan toleran terhadap kekufuran dan kemaksiatan, apapun bentuknya. Kekufuran dan kemaksiatan harus dilenyapkan. Hanya saja, Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam. Adapun seorang Muslim yang melakukan tindak kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan sanksi sejalan dengan ketetapan syariah. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar dengan potong tangan, perang, rajam, dan sebagainya, merupakan perkara lumrah yang diakui dalam perspektif Islam. Pengingkaran orang-orang kafir terhadap hukum-hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan jihad, hudud, jinayat, dan sebagainya tidak berarti sama sekali.
Perlakuan Khilafah atas orang-orang kafir dapat dirinci sebagai berikut;
a.     Mereka tidak dipaksa untuk meninggalkan agama dan keyakinannya. Mereka dibiarkan menyakini dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Khalifah tidak akan memaksa mereka untuk beribadah sesuai dengan peribadahan Islam seperti shalat, nikah, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
b.     Orang-orang kafir yang melakukan tindak pelanggaran seperti perzinaan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan lain-lain, maka mereka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan syariah Islam. Khalifah akan merajam orang kafir yang berzina, memotong tangan orang kafir yang melakukan pencurian, dan sebagainya. Khalifah bisa saja memenjara orang kafir yang melakukan kecurangan, penipuan, dan penggelapan. Dalam konteks seperti ini, mereka diperlakukan sama dengan orang Muslim.
c.     Terhadap kaum zindiq seperti orang menyebarkan ajaran sesat, mengaku dirinya nabi dan rasul, dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam—seperti menolak al-Quran dan as-Sunnah, mendewakan Sahabat, ataupun menolak ajaran-ajaran Islam yang qath’i—baik sebagian maupun keseluruhan—maka mereka akan diperangi jika pelakunya adalah orang Muslim. Sebab, mereka telah murtad dari agama Islam dan wajib diperangi. Selain itu, ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam melalui pemikiran-pemikiran yang sesat. Ini adalah perlakuan Khilafah terhadap orang zindiq yang pertama kali melakukan kezindiqan. Jika seseorang sejak kecil mengikuti keyakinan sesat yang diajarkan oleh kedua orangtuanya, maka orang tersebut tidak dianggap murtad dari agama Islam. Status orang tersebut adalah orang kafir, dan akan diperlakukan seperti orang-orang kafir lainnya. Ia tidak boleh diperangi dengan alasan murtad dari agama Islam. Pasalnya, ia sejak kecil telah memeluk keyakinan sesat tersebut sehingga tidak dianggap murtad dari agama Islam. Orang-orang seperti ini dianggap sebagai orang kafir dan diperlakukan sebagai orang kafir. Namun, jika ia mengaku-mengaku dan mempropagandakan dirinya sebagai orang Muslim, mereka dianggap zindiq, dan bisa dihukum mati jika tidak menghentikan perbuatannya. Orang seperti ini dianggap melakukan perbuatan memecah-belah kesatuan umat Islam, dan merusak kesucian akidah Islam.
d.     Khilafah Islam adalah negara yang menjalankan dakwah Islam. Meskipun ia mengakomodasi semua kemajemukan yang ada di wilayahnya, bukan berarti tidak melakukan aktivitas dakwah. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan mengizinkan pembangunan tempat-tempat peribadahan non-Muslim, atau memasukkan ajaran-ajaran kufur ke dalam kurikulum pendidikan negara. Khilafah Islam juga tidak akan menyediakan guru-guru non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah resmi negara. Semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah, termasuk penyediaan tempat-tempat ibadah, Khilafah Islam tidak akan turut campur, atau memberikan dukungan dan bantuan. Pasalnya, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir, termasuk membantu terlaksananya ibadah-ibadah orang kafir. Jika dilakukan, sama artinya telah menolong kekufuran. Tindakan ini dilakukan sebagai wujud dakwah Islam yang diselenggarakan oleh negara. Hanya saja, dalam kedudukannya sebagai warga negara Khilafah Islam, hak dan kewajiban mereka dijamin sepenuhnya oleh negara, tanpa ada pengecualian. Mereka berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.
Demikianlah, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan yang lebih adil dan toleran dalam batas-batas rasional dan syar’i. Ketentuan Islam menyangkut pluralitas tentu saja jauh unggul dibandingkan apa yang dipropagandakan kelompok plural-liberalis yang sejatinya adalah cecunguk-cecunguk kaum imperialis dan pelanggar HAM nomor wahid.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy; (Penulis adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia)]

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2.     Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang.  Meski tidak mengandung tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3.     Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?
Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya  Romawi Timur kepada Islam. Meski itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453. Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke benteng Konstantinopel, dia  teringat kepada hadist yang berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang luarbiasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak,  juga Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.
Pada kenyataannya pengamat dunia internasional pun  juga memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi. National Intelligence  Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat baru baru ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020  Islamic Caliphate (khilafah Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada tahun 2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?
 4. Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?
 Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat.  Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin).  Dari berbagai ayat dan hadits, kita  dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’, dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun membuktikan hal itu.  Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika kehidupan Islam  dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan datang melalui jalan serupa.
Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk membawa rahmat, dan rahmat  adalah segala kebaikan yang kita angankan berupa  kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada perintah agar kita bersatu.
Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali kejayaannya?
5.     Bagaimana dengan pandangan yang tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?
Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.
6.    Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6] jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.
Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?
Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.
 7.     Mengapa HT tidak  banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?
Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur Tengah lain.
 8.     Mengapa HT sering dipojokkan?
HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan  Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9.     Siapa yang ada di balik upaya itu?
 Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang perjuangan  bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam kembali jaya.
Kedua, adalah  negara Barat, yang memang akan terus berusaha melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.
 10.  Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan diberikan kepada para pejuang agamaNya. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)

Hukum Merayakan Natal Bagi kaum Muslim

Bantahan Argumentatif Terhadap yang Membolehkan Merayakan Natal !

Hukum Merayakan Natal Bagi kaum Muslim
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pertama: Keharaman Merayakan Hari Raya kaum Kafir dan Mengucapkan Selamat “Hari Raya”
Kaum Muslim haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan mereka, atau syiar agama mereka yang batil. Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Pertama, dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

 وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zûr (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain. Sedangkan Sya’ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.” [1]
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zur (Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan:

قَدَمَ رَسُوْلُ الله [صلم] اَلْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله [صلم]: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم]

“Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi bersabda, Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.”  Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi saw, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga, tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkan kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:

إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ [رواه أبو البيهقي إسناد صحيح].

“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuki gereja mereka pada Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukankah merayakan hari raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas tersebut pasti mengundang adzab tersebut.”[2]

Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, Juz I/161. Beliau menyatakan, para ulama’ sepakat tentang keharaman mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, tidak ada perselisihan pendapat.
Kedua: Mereka yang Membolehkan
Dr. Quraisy Shihab menyatakan, memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkan dalam al-Qur’an, seperti tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
ذَلِكَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ قَوْلَ الْحَقِّ الَّذِي فِيهِ يَمْتَرُونَ
“Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama sekali tidak membahas tentang hukum kebolehan mengucapkan “Selamat Natal”. Menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang siapa Nabi ‘Isa –‘alaihissalam. Dia adalah putra Maryam, tidak seperti yang dituduhkan orang Yahudi, sebagai putra Yûsuf an-Najjâr, atau seperti klaim orang Kristen, bahwa dia adalah Tuhan (anak), atau putra Tuhan.[3]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama, selama tidak merugikan agama lain. Termasuk hak tiap agama untuk memberikan ucapan selamat saat perayaan agama lain. Dia mengatakan, “Sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk untuk memberikan ucapan selamat kepada non-Muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada  orang-orang yang tiada memerangimu karena agamadan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan ucapan selamat kepada kita dalam perayaan hari raya kita:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Q.s. an-Nisa: 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa “Tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim” (berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir yang tidak memerangi kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal ini terkait dengan mu’amalah, bukan ibadah. Sedangkan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka bagian dari ibadah. Konteks ayat ini terkait dengan Bani Khuza’ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk mengalahkan baginda saw, maka Allah perintahkan kepada baginda saw untuk berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu perjanjian.[4] Jadi, konteks “berbuat baik” di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, yang merupakan bagian dari “berbuat baik”.
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa’: 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, “Jika kalian didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk mendoakannya dengan doa yang sama.”[5] Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah di sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, “Jika kalian diberi salam, maka jawablah salamnya dengan lebih baik.” Hanya, menurut al-Qurthubi, balasan lebih baik ini dikhususkan kepada orang Islam, jika mereka yang mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk Ahli Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan jawaban yang diajarkan oleh Nabi, “Wa ‘alaikum.” [6]
Jadi, menggunakan ayat ini untuk membolehkan kaum Muslim mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir jelas tidak tepat. Bahkan, bertentangan dengan sejumlah dalil, baik al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Meski begitu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi secara tegas mengatakan, bahwa tidak halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama lain.

Adapun Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang Kafir. Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut.
Menurut beliau, ucapan “Selamat Hari Raya” kepada para  pemeluk Kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, juga tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang Muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama. Dia juga memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan natalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Mengenai berdiri atau duduknya Nabi ketika jenazah Yahudi lewat, sebenarnya bukan dalil khusus, tetapi ini merupakan tindakan yang dilakukan Nabi secara umum terhadap jenazah, baik Muslim maupun non-Muslim. Karena dalam riwayat al-Hasan maupun Ibn ‘Abbas dinyatakan, bahwa Nabi terdakang berdiri dan terkadang duduk, saat ada jenazah melintas di hadapan baginda saw. Ini juga tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka. Karena konteksnya jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai pernyataan Menteri agama yang menyatakan, bahwa ini hanyalah masalah mu’amalah, juga merupakan pernyataan yang tidak cermat. Karena tidak memilah mana yang ibadah dan mu’amalah. Merayakan Natal Bersama adalah bagian dari ibadah, yang haram dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan bisa menjerumuskannya dalam kemurtadan. Kalaulah memberi ucapan “Selamat Hari Raya” dianggap oleh Menag bagian dari mu’amalah, maka ini pun bagian dari mu’malah yang haram dilakukan oleh kaum Muslim kepada non-Muslim, apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah (basa-basi), yang nota bene adalah sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang juga menggelikan adalah pernyataan MUI, yang menyatakan  boleh menghadiri, asal serimonialnya bukan ritualnya. Pernyataan seperti ini juga batil, yang sama sekali tidak ada dalilnya. Sebab, siapapun yang menelaah dalil-dalil yang dikemukakan di atas, pasti paham, bahwa jangankan untuk menghadiri seremoninya, karena melihatnya saja jelas-jelas tidak boleh.
Kesimpulan

Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1-   Hukum mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya” bagi orang non-Muslim dalam hari raya mereka jelas haram. Dalam hal ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
2-   Hukum mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang non-Muslim juga haram, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
3-   Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini menyangkut madaniyyah khashah yang bertentangan dengan Islam.
4-   Dalil-dalil yang menyatakan keharamannya juga jelas, baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan untuk menyatakan kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya, baik langsung maupun tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah dalam masalah ini.

Wallahu a’lam.


[1]  Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I/488.
[2]  Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515.
[3]  Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XI/105.
[4]  Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XVIII/59.
[5]  Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119.
[6]  Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz V/297.

Allah SWT ‘Merindukan’ Tobat Kita

Allah SWT ‘Merindukan’ Tobat Kita

Allah SWT tentu benci terhadap hamba-Nya yang bermaksiat kepada-Nya. Namun sebaliknya, Allah SWT amat suka dan bergembira terhadap orang-orang yang segera bertobat dari dosa dan kemaksiatannya. Allah SWT bahkan menegaskan, bahwa ampunan-Nya bagi orang-orang yang mau bertobat adalah selalu lebih besar dari dosa-dosanya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan oleh Anas bin Malik ra pernah bersabda, bahwa Allah SWT telah berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah sesuai dengan apa yang kamu panjatkan dan harapkan kepada Diri-Ku. Aku mengampuni kamu atas dosa-dosa yang telah kamu lakukan dan Aku rela. Hai anak Adam, andai dosa-dosamu memenuhi seluruh langit, lalu kamu memohon ampunan-Ku, pasti Aku mengampuni kamu. Hai anak Adam, sesungguhnya kamu, andai kamu mendatangi Aku dengan memikul dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku akan mendatangi kamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR at-Tirmidzi, hadis hasan-shahih).
Dalam nada yang sama, Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Dzarr ra, bahwa Allah SWT telah berfirman, “Siapa saja yang mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Siapa saja yang mendekat kepada-Ku sedepa, Aku mendekat kepadanya sejengkal. Siapa saja yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari. Siapa saja yang menjumpai-Ku dengan memikul dosa sepenuh bumi—selama dia tidak menyekutukan Aku dengan apapun—maka aku akan menjumpainya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” (HR Muslim).
Anas juga berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, andai kalian berbuat dosa hingga dosa-dosa kalian memenuhi langit dan bumi, kemudian kalian memohon ampunan kepada Allah, maka pasti Allah mengampuni kalian.’” (HR Ahmad).
Abu Hurairah rajuga menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jala, saat menciptakan makhluk, Dia menuliskan pada makhkuk itu di atas ‘Arsy-nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” (HR Muslim).
Karena itulah Rasulullah SAW memberikan petunjuknya secara berulang kepada manusia untuk segara bertobat dari dosa-dosa. Ampunan Allah SWT kepada mereka merupakan rahmat-Nya kepada mereka. Di antara petunjuk Rasulullah SAW tersebut adalah sabdanya, sebagaimana dituturkan oleh Abu Dzarr bahwa Allah SWT telah berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat kesalahan malam dan siang hari, sementara Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Karena itu, minta ampunlah kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR Muslim).
Abu Hurairah menuturkan dari Rasulullah SAW kisah dari penuturan Allah SWT sendiri yang berfirman, “Hamba-Ku berbuat suatu dosa. Ia lalu berkata, ‘Ya Allah ampunilah aku atas dosa-dosaku.” Allah SWT berfirman, ‘Hamba-Ku berbuat suatu dosa dan dia tahu bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dan menghapus dosa-dosa.’ Lalu dia kembali berbuat dosa. Kemudian ia pun kembali berkata, ‘Ya Allah ampunilah aku atas dosa-dosaku.’” Allah SWT berfirman, “Hamba-Ku berbuat suatu dosa dan dia tahu bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dan menghapus dosa-dosa. Lakukanlah apa pun sekehendak kamu maka sesungguhnya Aku pasti mengampunimu.” (HR Muslim).
Karena itulah, Rasulullah SAW menyuruh kita untuk banyak bertobat kepada Allah SWT, sebagaimana sabdanya, “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah SWT dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR Muslim).
Tentu, Rasul bertobat bukan karena dosa-dosanya, karena beliau terpelihara dari dosa-dosa. Tobat beliau tidak lain merupakan bentuk makrifat beliau kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW juga bersabda, sebagaimana penuturan Abu Musa al-Asy’ari, “Sesungguhnya Allah melapangkan tangannya pada malam hari untuk menerima tobat pelaku kemaksiatan pada siang harinya dan melapangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat pelaku kemaksiatan pada malam harinya.” (HR Muslim).
Rasulullah SAW, sebagaimana penuturan Abu Hurairah ra juga berkata, “Siapa saja yang bertobat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya, Allah pasti menerima tobatnya.” (HR Muslim).
Selain itu, sesungguhnya dosa yang diiringi dengan istighfar akan menambah makrifat kepada Allah, pengakuan atas penghambaan kepada-Nya dan menambah upaya merendahkan diri di hadapan-Nya. Hal demikian lebih Allah cintai daripada ketaatan yang diiringi dengan sikap ujub dan lalai.
Alhasil, di penghujung tahun ini, dan dalam rangka menyongsong awal tahun depan, marilah kita segera bertobat, dengan tawbatan nashuha. Sesungguhnya Allah SWT akan selalu ‘merindukan’ tobat kita. (mediaumat.com, 24/12)