Jumat, 04 Januari 2013

keikhlasan Tukang tambal Ban



Tukang tambal ban
Di tepi jalan pettarani seseorang duduk di atas kursi roda, memutar roda penopang tubuh yang lemah, kedua kaki tak ada lagi yang menopang tubuh, tapi tangan masih kokoh untuk meringankan cekitan kesulitan, masih kuat mengais rezeki, tiada pucat kegelisahan akan ganasnya kehidupan, nafkah terus di nanti dalam sabar, gubuk kecil dan sebuah mesin tambal ban setia mendampingi perjalanan hidupnya. mesin tambal ban penyambung hidup menanti roda kehidupan, baju lusuh dan celana pendek kini terlihat panjang karna kaki tak terlihat lagi panjang, tubuh lebih banyak duduk dan kaki tak ada lagi yang berdiri, jari-jari kaki telah sirna bersama lutut kini tinggal paha dan tubuh bagian atas yang masih kokoh bersamanya memacuh adrenalin hidup, menyapu harapan membuang iba, dan sebuah motor bebek yang telah di modifikasi yang dapat digunakan sendiri. menjangkau jarak yang jauh dari tempatnya. Motor itu menaruh harapan besar terhadap kehidupannya yang dapat membantu kelemahannya, duduk termenung sendiri dengan isapan sebatang rokok mengeluarkan kepulan asap menyaksikan kendaraan lalu lalang di depannya, berharap ada orang mengalirkan sebagian rezekinya, untuk menumpahkan rupiah atas jasanya. Duduk Sendiri di atas kursi roda serasa sepi, tatapannya sunyi dalam kekawatiran kini cahaya mulai redup, cahaya putih terang benderang telah tergiring ketimur dan mulai tampak mega merah menghiasi langit biru. Sesekali mobil berhenti menurunkan muatannya tak  kunjung pengendara mesin berhenti menggunakan jasa alat tambal ban si puntung. Tubuh gemuknya tetap setia menunggu walau penantiannya itu tak pasti,tiba-tiba terlihat dari dalam lorong, sebuah motor bebek satria dengan memakai baju dinas di tutupi jaket tentara di luarnya, menawarkan pertolongan, aku hanya menyimak, aku bersyukur ternyata ada juga yang mendengar ratapan penantiannya, tapi aku takjup dengan kondisi ban motor si pria yang setengah baya itu mengapa kedua ban kendaraan bermesinnya itu, kedua rodanya kempes, dengan senyum ramah si pengendara itu mengatakan daeng kompa, dengan tidak menunggu lama si puntung bergegas meraih selang angin dan mengisi kedua bang motor yang mengempes itu, aku tahu kalau orang itu pasti sedang menguji sipuntung dengan mengempiskan ke dua ban motornya. Tapi ya aku salut dengan cara yang di bagikan oleh pengedara itu. Si paruh baya itu menarik Rupiah dari kantongnya selembar uang lima ribu, sipuntung berusaha mencari uang kembalianny di selah-selah tas kecilnya yang terikat di pinggannya berinisiatif untuk mengembalikan sisanya, tapi dengan senyum si pria paruh baya itu berkata tidak usah ada kembalian semua itu untukmu. Lalu sipuntung mengucapkan terima kasih. Si pria paruh baya pun berlalu meninggalkan si puntung. Hingga megah merah berubah menjadi hitam tak ada juga orang melepaskan iba selain si pria paruh baya tadi, mataku mulai berkaca-kaca menyaksikan semua yang ada di hadapanku ini, walau kakinya puntung tapi semangatnya mengalir begitu kuat bagai derasnya air dalam banjir, luapannya begitu dahsyat dan sabarnya begitu tabah dalam keikhlasannya menjalani kekurangannya, tiada putus asa, harapan dan tekadnya tetap teguh mengais rezeki dalam halal, tak mengotori tangannya untuk meminta-minta,  mengemis mengharap pamrih dari tangan-tangan yang berlimpah materi. Tapi si puntung mempercayakan kepada kedua tangannya. bahwa kedua ototnya masih kuat untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Makassar 9 september